Sabtu, 16 Juni 2012

Perjalanan Korban Lapindo Diwarnai Intimidasi

666

PERJALANAN korban luapan lumpur Lapindo, Hari Suwandi, 44,ke Jakarta sudah dimulai. Pada Kamis (14/6) sekitar pukul 23.04 WIB, warga Desa Kedungbendo,Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo itu sampai di Balai Wartawan Gresik.

Perjalanan panjang dari Porong hingga Gresik tidaklah mudah. Intimidasi pun mulai diterima Hari di sepanjang perjalanannya. Keringatnya mengucur, napasnya tersengal-sengal, dan debu tebal menempel di kakikaki yang terbalut sandal jepit berwarna biru. Meski demikian, pria berputra empat itu tetap terlihat tegar.Setelah mengucap salam, senyumnya pun mengembang. “Kamar mandinya mana?” tanya Suwandi kepada salah satu wartawan.
 
Ya, Hari Suwandi,salah satu korban lumpur Lapindo kemarin tiba di Balai Wartawan Gresik. Hari dikawal Harto Wiyono, 42, warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong. Harto yang juga teman seperjuangan Hari Suwandi itu bertugas mengawalnya selama perjalanan ke Jakarta. Harto mengawal dengan mengendarai sepeda motor. Pada kendaraan yang baru saja dibeli dengan cara mengkredit itu terkait dua tiang bendera Merah Putih.

Selain itu terpasang juga poster bertuliskan,“ 6 Tahun Lumpur Panas Lapindo Korban Lapindo Perpres 14/2007 Menuntut dan Mencari Keadilan Penyelesaian Hak-Hak Jalan Kaki Porong-Jakarta”. Karena kelelahan habis perjalanan Porong-Gresik, Hari Suwandi langsung terlelap di lantai. Makanan dan minuman yang disajikan teman-teman wartawan diabaikan. Saking terlelapnya, nyamuk-nyamuk yang sempat menggigit tidak dihiraukan.

“Mas Heri Suwandi kelelahan. Makanya langsung tidur. Baru besok mungkin dia bisa bercerita,”ungkap Harto. Pagi harinya, Hari Suwandi sudah terlihat bersiap-siap melanjutkan perjalanan.Namun, lagi-lagi Hari tidak menyempatkan sarapan. “Saya harus melanjutkan perjalanan karena perjalanan masih jauh,” ungkapnya. Sambil mengisap rokoknya, Hari Suwandi mulai bercerita tentang perjalanan Porong – Gresik.

Awalnya, perjalanan sepanjang wilayah Sidoarjo berjalan lancar. Namun, memasuki wilayah Surabaya, pria berkulit sawo matang itu mulai mendapatkan hal-hal aneh. Di antaranya saat Hari berjalan di sepanjang Jalan A Yani, Surabaya. Hari sempat diikuti sejumlah orang. Namun, tibatiba menghilang tidak diketahui rimbanya.“Saya tidak menolak bila hal itu disebut intimidasi. Tetapi, saya tidak takut karena saya ingin memperjuangkan para korban lumpur Lapindo yang masih ada 4.426 berkas yang belum terselesaikan. Padahal,masalahnya sejak enam tahun lalu,”ujarnya.

Perjuangan suami Sribati itu patut diapresiasi sebab dia harus menempuh jarak 827 kilometer dengan berjalan kaki melalui jalur pantai utara Jawa untuk memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo. Selama perjalanan,Hari hanya berbekal 100 keping compact disc (CD) yang berisi proses awal terjadinya luapan lumpur Lapindo. CD tersebut akan dijual di kota-kota yang disinggahi yaitu 17 kabupaten/kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

“Saya tidak berbekal apa pun.Kecuali bondo nekad. Sepanjang perjalanan untuk makan dan minum saya akan menjual 100 keping CD berisikan proses terjadinya lumpur Lapindo,” kata Hari Suwandi.Dia pun secara kesatria mengaku jika ganti rugi lahan miliknya sudah terbayar 60% lebih.

Kini hanya menyisakan sekitar Rp89 juta dari total Rp400 juta yang harus dibayarkan. Lahan milik orang tuanya juga sama. Namun, dia prihatin, banyak korban Lapindo lainnya juga belum tertuntaskan hingga kini. Padahal, peristiwa tersebut sudah terjadi sejak enam tahun lalu.

“Ironisnya, ada sembilan desa terdampak yang di luar peta sudah direalisasikan. Tetapi, kami dan ribuan warga yang masuk dalam peta desa terdampak belum tuntas juga. Yang terselesaikan itu menggunakan uang APBN. Berarti, saya ikut membayar juga,” katanya. (ashadi ik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar