Jumat, 08 Juni 2012

Menyoal Penghasilan Jumbo Pejabat Kementerian Keuangan

dari : www.jurnalparlemen.com
Penghasilan pejabat eselon I Kementerian Keuangan lebih tinggi daripada gaji perdana menteri Inggris. Pantaskah mereka mendapat remunerasi berlimpah? 
Oleh: Dradjad H Wibowo
Ekonom, mantan anggota Komisi XI DPR RI *
PERDANA MENTERI Inggris David Cameron merealisasikan janji kampanye untuk memotong gajinya sendiri sebesar 5 persen. Penghasilan perdana menteri di Inggris adalah sebesar 142 ribu poundsterling. Dengan kurs tengah poundsterling saat ini sekitar Rp 14.300, maka Inggris menggaji perdana menterinya hanya sebesar Rp 2,03 miliar per tahun.

Bagaimana gaji pejabat di negeri kita?

Beberapa waktu lalu saya mendapat kiriman data dari Lapangan Banteng, Jakarta. Isinya tentang penghasilan beberapa pejabat eselon I di Kementerian Keuangan selama periode 2006-2010. Tercatat bahwa selama 2006-2008, penghasilan pejabat eselon I yang namanya disebut di situ rata-rata sebesar Rp 2,23 miliar per tahun. Lebih besar ketimbang penghasilan David Cameron bukan?





Penghasilan di sini meliputi gaji, tunjangan khusus, dan pendapatan sebagai komisaris. Seperti diketahui, sebagian pejabat eselon I dan II Kementerian Keuangan ditempatkan sebagai komisaris di bank plat merah, bank eks BPPN yang sahamnya masih dimiliki negara, dan berbagai badan usaha milik negara (BUMN) lainnya. BUMN ini tak terkecuali yang merugi, terlilit utang, ataupun menyedot subsidi sangat besar seperti PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Artinya, penghasilan para pejabat eselon I itu semuanya berasal dari aset negara, baik yang dipisahkan maupun tidak. Selain itu, negara juga membayar pajak penghasilan mereka. Sebab, sebagian pajak dibayar oleh Kemenkeu, masuk DTP (Ditanggung Pemerintah) atau dibayarkan oleh BUMN. Kalaupun ada pajak yang dibayar sendiri, jumlahnya tak bakal sampai 5 persen dari penghasilan mereka.

Khusus pada tahun 2006, penghasilan yang tercatat dalam data tersebut belum mencakup TPTKN (Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara) dari Kemenkeu. Tunjangan khusus ini diberikan sejak 2007 terkait program reformasi birokrasi. Besarannya mulai dari Rp 2,09 juta per bulan untuk PNS Kemenkeu dengan tingkat terendah. Bagi eselon I Kemenkeu, tunjangannya mencapai Rp 49,33 juta per bulan.

Sekadar ingatan bagi kalangan DPR, substansi TKPKN ini sebenarnya tidak jauh beda  dengan dana aspirasi bagi anggota DPR—yang dulu sempat diributkan dan ditolak oleh masyarakat. Bedanya, dana aspirasi anggota DPR harus dibagi-bagi kepada masyarakat konstituen, sedangkan TKPKN sepenuhnya untuk pejabat yang bersangkutan.

Angka di atas baru hitungan penghasilan tunai. Dalam bentuk natura atau nontunai, para pejabat eselon I yang jadi komisaris biasanya dapat jatah dari BUMN berupa fasilitas cukup mewah. Di antaranya, kartu kredit dengan plafon hingga Rp 100 juta, mobil dinas yang boleh dimiliki setelah lima tahun bertugas, tunjangan perumahan, transportasi, kesehatan, dan sebagainya yang nilainya menggiurkan. Itu pun belum termasuk per diem untuk perjalanan dinas, uang rapat, honor sebagai pembicara, dan sebagainya.

Jika dihitung semua, maka penghasilan mereka rata-rata Rp 2,6 – 3,0 miliar per tahun. Semua itu merupakan penghasilan murni dari instansi yang sekira tidak dianggap melanggar aturan. Jika pejabat eselon I “bermain”, maka penghasilannya bakal jauh melonjak. Peluang "bermain" itu terbuka dalam ranah seperti pasar modal, broker dan arranger SUN yang dapat yield tinggi dari negara, asuransi, wajib pajak, eksportir-importir, eks pasien BBPN, eks obligor BLBI, pelelangan aset negara, dan sebagainya.

Gaji Besar versus Beban Rakyat

Apakah remunerasi sebesar itu terlalu mahal bagi pejabat eselon Kemenkeu? Tentu saja, ya!

Masalahnya, bukan cuma kelewat mahal, bahkan jika dibandingkan dengan penghasilan kepala pemerintahan sebuah negara maju seperti Inggris. Lebih dari itu, penghasilan jumbo itu justru terjadi di Kementerian Keuangan. Instansi yang semenjak masa Sri Mulyani Indrawati diklaim paling reformis dan berprestasi.

Kemenkeu adalah instansi yang paling gencar menyuarakan penghematan nasional. Mendorong penurunan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara drastis sehingga rakyat dipaksa untuk berkontribusi makin besar dalam menanggung beban negara.  Namun di sisi lain ternyata diam-diam pejabatnya meraup gaji penghasilan melimpah dari negara. Jika David Cameron bertindak memotong gaji, di sini Kemenkeu justru sebaliknya.

Sungguh tidak adil. Ironisme ini makin terasa jika kita melihat fakta berikut ini:

Pertama, Kemenkeu cenderung pelit kepada instansi atau lembaga lain. Penghasilan pegawai golongan III A di Kemenkeu bisa setara dengan eselon I di instansi lain yang tidak memperoleh tambahan remunerasi TKPKN. Bahkan instansi yang sudah dinyatakan lolos reformasi birokrasi pun remunerasinya tidak dibayar seratus persen seperti di Kemenkeu.

Kedua, remunerasi teramat tinggi tersebut tidak terbukti mencegah korupsi dan suap. Contoh nyata, kasus Gayus Tambunan, kasus Bea Cukai, dan Dhana Widhyatmika, yang semuanya adalah pegawai negeri di bawah Kementerian Keuangan.

Ketiga, remunerasi superbesar itu juga gagal membuktikan kenaikan kinerja secara signifikan di instansi Kementerian Keuangan. Contohnya, Badan Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) tahun 2011 menemukan fakta bahwa: aset-aset eks BPPN sebesar Rp 38,11 triliun di Kemenkeu, hilang. Jika kinerja Kemenkeu bagus, aset sebanyak itu tak bakal hilang. Jika tidak hilang, maka aset itu bisa digunakan untuk menutup pembengkakan subsidi BBM dan energi. Belum lagi, tujuh obligor yang dijanjikan oleh Kemenkeu akan tuntas pada tahun 2007 ternyata hingga kini masih terkatung-katung.

Kemenkeu juga sangat rajin berutang. Biayanya mahal pula. Pada 2009 Kemenkeu menerbitkan obligasi dollar Amerika dengan yield 11,75 persen. Padahal deposito saat itu hanya memberikan bunga 7-8 persen. Prestasi penerimaan pajak juga tidak keren amat, tax ratio-nya hanya bergerak di sekitar level 12 persen. Begitupun dari sisi kebijakan, kewenangan hukum yang besar di Bea Cukai tidak dioptimalkan sehingga gagal membereskan kasus penyelewengan dan korupsi impor gula oleh Kementerian Perdagangan dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) pada awal 2012.

Ke-empat, Kemenkeu gencar menyiapkan pensiun dini bagi PNS guna menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun di sisi lain rekruitmen pegawai baru di Lapangan Banteng tetap jalan terus. Soal remunerasi, Kemenkeu menjadi pelopor untuk menerimanya di tahun 2007. Giliran ada program pensiun dini, instansi ini tidak berani mempeloporinya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, sulit bagi pemerintah untuk melakukan penghematan APBN. Penghematan yang benar-benar substansif dan bermanfaat bagi rakyat hanya dapat dimulai dari Kementerian Keuangan. Sebab, potensi penghematan terbesar justru ada di instansi yang berpusat di Lapangan Banteng itu. Rangkap jabatan di Kemenkeu jelas harus dihapuskan karena bertentangan dengan reformasi birokrasi dan merupakan pemborosan uang negara.

Persoalannya, siapa yang berani memulai langkah penghematan dari situ?  ***

*) Catatan penulis: Terima kasih atas penyuntingan naskah ini oleh Hadi Rahman
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar