” ketidaktahuan akan hukum bukan menjadi alasan
pembenar atau pemaaf suatu tindakan ”
pembenar atau pemaaf suatu tindakan ”
Oleh : Wing Prabowo, SH *
Begitulah gambaran sebuah kalimat sederhana yang berlaku dalam sistem hukum
di negara kita. Apapun argumen kita yang menyatakan bahwa kita benar-benar
tidak mengetahui ada sebuah aturan yang mengatur hal tersebut, namun itu bukan
menjadi alasan pembenar atau pemaaf atas perbuatan kita yang dinilai salah.
Mengapa?? Karena ketika peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan
dimuat dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
maka semua warga negara indonesia dianggap tahu walau bersangkutan tinggal di
dalam gua atau hutan terpencil sekalipun.
Hal itu juga berlaku pada hukum pidana. Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) menyatakan bahwa ’tak ada suatu perbuatan yang dapat di pidana
tanpa diatur terlebih dahulu dalam peraturan”. Asas ini sangat jelas dan
tentu saja seseorang tak dapat di pidana bila tidak ada peraturan yang
menyatakan perbuatan tersebut telah melanggar aturan-aturan hukum. Jadi
walaupun menurut kita perbuatan yang dilakukan seseorang merupakan perbuatan
yang salah atau merugikan hak kita misalnya, namun bila belum ada peraturan
yang melarang perbuatan tersebut maka si pelaku tak dapat di hukum secara
pidana.
Pada dasarnya perbuatan-perbuatan melanggar hukum menurut KUHP terdiri atas
dua macam yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindak pidana yang tergolong dalam
Kejahatan akan menerima konsekuensi hukum berupa pidana penjara dan dapat
ditambah dengan pidana denda. Bila tidak mampu membayar pidana denda,
diterapkan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama waktu tertentu.
Sedang khusus tindak pidana yang terkait dengan politik, dikenal istilah pidana
tutupan yaitu hukuman berupa pengucilan pelaku. Biasanya ada tempat-tempat
tertentu yang diperuntukkan bagi pelaku kejahatan politik. Kejahatan dapat
dikategorikan menjadi dua jenis yaitu tindak pidana berat dan tindak pidana
ringan yang tentu saja hukuman pidananya juga berbeda. Sebaliknya tindak pidana
yang tergolong dalam Pelanggaran akan menerima konsekuensi hukum berupa pidana
denda dan kurungan.
Terkait dengan penerapan hukum pidana di masyarakat, banyak kasus pidana
yang terjadi dimana para pelakunya begitu awam pengetahuannya tentang hukum
pidana yang diterapkan di negara kita ini. Ironisnya lagi, para pelakunya lebih
di dominasi oleh orang-orang yang dilihat dari sektor ekonomi tergolong tidak
mampu/miskin. Saya bukan ingin membela atau membenarkan apa yang dilakukan oleh
orang-orang ini. Saya hanya sekedar ingin bertanya pada saudara-saudara semua.
Pertanyaannya saya sederhana saja, BENARKAH TELAH TERCIPTA KEPASTIAN
KEADILAN HUKUM?? TERWUJUDKAH PERSAMAAN HAK DI MATA HUKUM SELAMA INI??
APAKAH KITA MERASA TERAYOMI, TERLINDUNGI DENGAN PENEGAKAN HUKUM SELAMA INI??
Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum di negara tercinta kita ini
telah mengamanatkan pada peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya
guna mengakui hak setiap orang atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum { Pasal 28D (1) }.
Peraturan
perundang-undangan yang sangat jelas memuat kerangka hak-hak setiap warga
Negara Indonesia adalah Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-undang ini mengatur banyak hal berhubungan dengan hak yang dimiliki
oleh manusia sebagai mahluk Tuhan YME yang memiliki posisi lebih mulia dari
segala mahluk yang ada di dunia. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang
hukum, saya sering mengajukan pertanyaan pada diri sendiri terkait dengan
Persamaan Hak dan Kedudukan di mata hukum serta Kepastian Hukum selama ini.
Begitu banyak fenomena kasus yang kadangkala membuat kita menjadi heran,
bingung serta bertanya-tanya bagaimana sebenarnya penerapan hukum yang berlaku
di negara ini. Seorang pencuri sapi dan seorang koruptor merupakan dua contoh
kasus yang sama-sama merugikan dan tergolong dalam tindak pidana. Perbedaannya
yaitu pelaku pencuri sapi umumnya berasal dari warga yang bila ditinjau dari
segi ekonomi pelakunya miskin atau tidak mampu, seringkali alasan ekonomi
menjadi dasar kejahatannya, merugikan satu dan/atau sekelompok orang, tidak
mempunyai pengacara pribadi, tidak mempunyai pengetahuan akan hukum pidana,
seringkali mengalami kontak fisik serta harga sapi sekitar Rp 5.000.000-an
lebih. Sedang kasus korupsi umumnya pelaku dari kalangan pejabat atau
orang-orang yang memiliki kedudukan strategis baik di pemerintahan maupun
swasta, merugikan bukan hanya sekelompok orang melainkan telah merugikan Negara
(dengan kata lain seluruh rakyat indonesia jadi korban), ditinjau dari segi
ekonomi pelakunya tergolong orang kaya, dasar kejahatannya guna menumpuk
kekayaan, memiliki pengacara pribadi, memiliki pengetahuan terkait hukum pidana
serta hasil korupsinya bisa mencapai milyaran-trilyunan rupiah.
Lantas bagaimana konsekwensi hukumnya?? Bagaimana kira-kira jika pidana
penjara yang dijatuhkan kepada pelaku pencuri sapi dan pelaku korupsi sama masa
hukumannya atau setidak-tidaknya beda 2-3 tahun saja. Saya ingin mengajak kita
semua untuk lebih mengamati kasus-kasus pencurian dan kasus korupsi di TV
ataupun di media massa lainnya. Saya tidak akan menguraikan contoh-contoh kasus
pencurian sapi dan kasus korupsi yang pernah terjadi, berapa lama masa hukuman
pidana para pelakunya. Saya ingin anda-anda semua dapat mengamati kasus-kasus
ini baik di media massa ataupun secara langsung mengikuti persidangan di
pengadilan dan silakan anda-anda semua menyimpulkannya. Semoga saja anda semua
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas. Di akhir kata, marilah mulai
saat ini kita semua membangun kepedulian terhadap negara ini agar cita-cita
Negara Indonesia untuk mencapai ”Masyarakat Yang Adil Dan Makmur” sebagaimana
yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dapat terwujud dan
terlaksana dengan baik.
* koordinator penguatan institusi
lokal, LPA.Awam Green
Tidak ada komentar:
Posting Komentar