Jumat, 25 Mei 2012

Perkotaan dan Otonomi Masa Depan


Penulis : Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI, Advisor Local Governance Wa

SEMUA jengkal di dunia pasti berubah, tidak ada yang luput secara perlahan ataupun cepat, tergantung banyak faktor. Begitu pun di Indonesia. Catatan Eko Budihardjo (2005), di dunia ini sekarang ada 20 kota yang didiami oleh 10 juta penduduk, 18 di antaranya di negara-negara berkembang dan terdapat 35 kota didiami oleh 5 juta orang. Mexico City dan Calcutta telah melewati batas 20 juta penduduk.

Pada 1985, NUDS mencatat lebih dari 350 kota tanpa status pemerintahan kota tumbuh di Indonesia. Data sekarang, di negeri ini ada lebih dari 90 pemerintah kota dan diperkirakan lebih dari 800-an wilayah yang berkembang menjadi kota. Secara kultural, kota juga menjadi idaman sebagian besar umat manusia termasuk bangsa Indonesia.



Celakanya, dari sisi negara, hingga saat ini pengaturan secara nasional mengenai pemerintahan kota belum dibuat secara lebih jelas dan terarah. Buktinya adalah pemerintahan kota yang sejatinya menjadi pengelola dan fasilitator penduduk kota, hanya diatur dalam satu pasal dalam UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Nyaris operasionalnya disamakan dengan daerah ’bukan kota’. Tentu ini menjadi sumber dari segala kelemahan dan permasalahan perkotaan Indonesia jika kita berpikir kelembagaan.


Paradoks kemajuan

Dilema terjadi di sini. Mengatur kehidupan perkotaan adalah mengatur sesuatu ke arah kemajuan bangsa. Kota identik dengan kemajuan teknologi dan budaya, meskipun dalam praktik terdapat perbenturan budaya. Justru, tanda perbenturan budaya adalah bagian dari tanda kemajuan karena heterogenitas adalah ciri dari kota itu sendiri.

Dalam konteks pemerintahan perkotaan, kita memang harus mendudukannya pada lokus pemerintahan daerah sehingga terkait pengembangan desentralisasi dari sebuah negara bangsa. Desentralisasi yang dikembangkan selama ini di Indonesia masih bernuansa desentralisasi teritorial semata dan karena dalam konteks negara kesatuan, maka pasti bersifat simetrik. Kelembagaan yang tercipta dalam dua keadaan tersebut membawa pengaturan pemerintahan kota terjebak dalam pengaturan standar. Artinya, sama dengan daerah yang ’bukan kota’.

Akhirnya Kemendagri dan berbagai pihak yang kompeten terhadap hal ini juga tidak mampu keluar dari kotak hitam (black box) struktur pengaturan pemerintahan daerah yang ada. Sementara kenyataannya daerah kota adalah daerah yang dinamis, khas, dan terkait erat dengan perkembangan global yang jika salah atur dan salah urus akan menjadi bumerang bagi negara bangsa secara keseluruhan.

Dalam konteks desentralisasi teritorial yang sedang kita jalani memang terdapat tantangan hubungan pusat-daerah yang tidak sederhana pula. Tantangan pilihan menjaga keutuhan negara kesatuan dan bayang-bayang arus bawah yang menginginkan otonomi lebih diperluas sehingga mengarah ke federal juga mulai kita rasakan di samping tantangan-tantangan lainnya.

Akan tetapi, pembicaraan pembenahan pemerintahan perkotaan mampu menjadi alternatif solusi untuk mengatasi kelemahan desentralisasi teritorial yang dijalankan di negeri ini. Pemerintahan kota ditandai oleh makin mengentalnya hubungan interdependensi antardaerah. Inilah potensi positif yang harus dikembangkan dan dikelola dengan baik.


Desentralisasi fungsional: otonomi utuh

Kita tidak perlu khawatir mendiskusikan federalisme di sini sebetulnya. Hanya kita perlu mendalami desentralisasi secara utuh. Desentralisasi yang kita jalankan adalah desentralisasi teritorial belaka. Sebetulnya desentralisasi yang utuh terdiri dari desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional (Wolhoff: 1955).

Sementara berbagai negara maju dalam mengelola perkotaan telah mengakomodasi desentralisasi fungsional dalam konstitusinya. Ada pula negara yang tidak mengaturnya dalam konstitusi, melainkan langsung dalam UU pemerintahan daerahnya sehingga kemudian menjadi dasar bagi UU perkotaannya.

Desentralisasi fungsional ini, seperti dari susunan katanya, menekankan segi fungsi dalam mengotonomikan kelembagaan yang akan dibentuk. Berbeda dari desentralisasi teritorial yang menekankan wilayah (teritori) tertentu yang didiami oleh masyarakat, desentralisasi fungsional mengotonomikan sejumlah aktor terkait dengan fungsi yang akan dilembagakan.

Dalam konstitusi Hindia Belanda, sebetulnya sudah diperkenalkan desentralisasi fungsional ini. Hanya the founding fathers RI tidak meneruskannya dalam konstitusi kemerdekaan. Pada saat itu, baru dikembangkan untuk urusan irigasi (pengairan) yang menciptakan ’waterschappen’. Pihak-pihak terkait dengan pengairan di-otonomi-kan. Lembaga yang terbentuk adalah ’waterschappen’ ini.

Dalam konstitusi Belanda saat ini, masih terpelihara dan didampingi dengan desentralisasi fungsional untuk persoalan perdagangan dan pengembangan masalah lainnya. Dalam praktik, instrumen desentralisasi ini ditujukan termasuk untuk pengembangan pemerintahan bagi kawasan perkotaan.

Potensi di Indonesia, saat ini sebetulnya sudah muncul dengan adanya kawasan khusus, otorita, dewan sumber daya air, dan beberapa waktu yang lalu ingin mengembangkan manajemen sekolah berbasis masyarakat, ada juga manajemen hutan berbasis masyarakat, juga yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi di bidang pendidikan mengenai otonomi kampus. Sebetulnya semua mengarah pada desentralisasi fungsional.

Karena masyarakat dan kelembagaan negara kita hanya mengenal desentralisasi teritorial, mengotonomikan jenis-jenis tersebut selalu ditandai oleh: (1) persepsi komersialisasi karena mengarah ke privatisasi; (2) image pemaksaan bahwa harus terkait dengan elemen desentralisasi teritorial; (3) ketidakjelasan arah kelembagaannya karena dasar hukum yang tidak sinkron yang bermula dari paradigma otonomi daerah dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah hanya berkisar pada desentralisasi teritorial.

Dengan demikian, untuk mengatasinya sebetulnya kita bisa meraciknya apakah mulai dari UUD atau dari UU yang mengatur pemerintahan daerah yang sedang akan kita revisi. Menyambut pengaturan UU yang berusia sekitar 12 tahun sejak reformasi, bahkan jika terkait penerapan desentralisasi di bumi Nusantara telah sekitar 109 tahun lamanya, maka pengaturan perkotaan harus menjadi pertimbangan untuk melihat otonomi masa depan kita lebih baik lagi.

Otonomi perkotaan tidak akan sanggup jika hanya diatur dan diakomodasi dalam konteks desentralisasi teritorial belaka karena karakter dasar kawasannya adalah independensi antarberbagai wilayah yang melintasi daerah otonom dalam kerangka desentralisasi teritorial yang selama ini ada. Karakter kemajuan heterogenitas, inklusif, juga tidak mungkin diatur sama dengan pemerintahannya dengan daerah ’bukan kota’. Sudah saatnya desentralisasi fungsional menjadi alat untuk mengotonomikan kelembagaan kawasan perkotaan ini agar keadaan semakin baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar