Jumat, 25 Mei 2012

Pencerahan Partai Politik



Penulis : Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group

SARAN dari Senayan agar rakyat biasa jangan dilibatkan dalam percaturan pendapat soal pembangunan gedung baru DPR kedengaran ganjil. Ibaratnya, panggung politik kaum elite menutup layar bagi publik. Niatnya mungkin baik: agar perhatian rakyat biasa yang terfokus pada soal sandang/papan/pangan dan pendidikan tidak terganggu. Di lain pihak, saran itu kedengaran patronizing - meremehkan peran ataupun kemampuan rakyat jelata untuk membuat pilihan. Bukankah justru rakyatlah yang pertama-tama berhak membuat pilihan?

Undang-Undang No 27 Tahun 2009, khususnya Bab III tentang DPR Pasal 69, menyatakan bahwa DPR mempunyai fungsi a. legislasi, b. anggaran, dan c. pengawasan. Ketiga fungsi dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan, antara lain, melalui ruang partisipasi publik, transparansi fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat. Karena itu pada awal tulisan disebutkan ganjil bahwa ada keinginan untuk tidak melibatkan rakyat biasa dalam pembahasan soal gedung baru yang mengalokasikan anggaran luar biasa besar.



Mungkin ada anggapan, rakyat biasa tidak/belum mampu diajak bicara soal ini. Kalau mereka tidak mampu, bagaimana bisa merepresentasikan mereka? Apakah tidak ada tanggung jawab memberikan pencerahan agar mereka memahami? Mereka tidak mungkin dialienasi. Mereka bisa setuju, bisa tidak setuju. Yang akan menentukan adalah bagaimana pemahaman mereka tentang masalah itu setelah mereka mendapat pencerahan. Apa peran partai-partai politik yang menempatkan wakil-wakilnya di DPR?


Partai politik dalam negara demokrasi

Menurut teori, apakah suatu negara menjalankan atau tidak menjalankan demokrasi dapat ditilik dari sistem kepartaiannya (Man and Society; 1968). Dalam demokrasi yang ideal, sistem kepartaian membuka kesempatan kepada rakyat untuk mendapat kebebasan membuat pilihan politik. Maka di negara-negara demokrasi, sedikitnya ada dua partai untuk saling memperebutkan suara rakyat.

Jumlah partai bisa lebih, tergantung kepada keragaman keinginan rakyat untuk menyalurkan aspirasi masing-masing. Semakin banyak partai tentu situasi bertambah rumit karena mempersulit rakyat membuat pilihan. Toh itu masih lebih baik dibandingkan dengan di negara totaliter atau feodalistis yang sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat pilihan. Negara totaliter yang hanya memiliki satu partai politik tidak bisa disebut memiliki sistem kepartaian karena esensi sistem kepartaian adalah persaingan. Tanpa ada persaingan, para pemimpin negara bisa menjalankan kebijakan tanpa pengawasan yang lain. Ini yang seyogianya ditabukan di negara demokrasi.

Dalam negara demokrasi, seluruh rakyat bebas menjalankan kehidupan masing-masing sesuai aturan yang dibuat bersama. Tidak ada halangan untuk hidup bersama secara dinamis, di sela-sela persaingan dan kerja sama. Persaingan untuk memperebutkan kepemimpinan berlangsung lewat pemilihan umum, tanpa kekerasan. Menyatakan pendapat dan berdebat dapat berlangsung bebas tanpa hambatan karena memiliki arti penting bagi proses demokrasi. Cara ini bukan hanya memberikan pencerahan kepada rakyat, tetapi juga perlu untuk katup pengaman bila ketegangan politik meningkat, dengan demikian dapat mencegah gejolak politik lebih besar seperti yang berlangsung di kawasan Timur Tengah.


Terjepit karena kepentingan bersama

Yang terpapar tadi untuk dipertimbangkan agar kita jangan dianggap hanya merujuk pada kemauan atau kepentingan suatu kelompok, karena kita bukan negara otoriter. Bila DPR merepresentasikan kepentingan rakyat, kesejahteraan rakyatlah yang hendaknya diprioritaskan. Syukurlah bahwa dalam kasus ini suara DPR pun terbelah: ada yang setuju dan ada yang menolak pembangunan gedung baru.

Kenyataannya, setiap anggota DPR memiliki peran ganda: sebagai wakil rakyat dan langsung sebagai wakil partainya. Dalam hal yang disebut terakhir, dia harus pandai-pandai menjadi perantara antara kelompoknya dan kelompok-kelompok partai lain di DPR. Dia harus cukup terampil dalam bernegosiasi dan berkompromi untuk mencapai hasil jangka panjang yang terbaik bagi semuanya: demi kepentingan masyarakat dan negara, partainya maupun partai-partai lain. Tugas anggota dewan yang terhormat memang tidak segampang yang orang bayangkan. Dia diharapkan mampu memperjuangkan apa yang diyakininya; dalam waktu bersamaan harus mampu meyakinkan kelompoknya maupun yang lain-lain agar bersedia menyepakatinya.

Tentu tidak segenap anggota DPR mampu melaksanakan fungsinya sesuai tuntutan. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua DPR Pramono Anung (PDIP) Selasa minggu lalu di Universitas Diponegoro: sekitar 17% anggota DPR (kurang lebih 90 orang?) tidak pernah bicara. Politisi tidak akan punya arti jika tidak pernah menyampaikan gagasan dan ide di media demi kepentingan publik maupun untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Mereka lebih baik jangan menjadi politisi, Demikian pesan yang bisa dipetik dari pendapat Pramono Anung.

Menjadi anggota DPR sudah dianggap masuk dalam elite pimpinan politik. Banyak yang diharapkan dari mereka. Agar mampu memberi respons terhadap perubahan situasi dan tekanan-tekanan politik, dia memerlukan ahli-ahli di seputarnya agar tidak ketinggalan dan mampu mengikuti keadaan yang terus-menerus berubah. Rasanya kewajiban partai-partai politik tidak langsung berhenti begitu selesai menggolkan mereka masuk DPR. Partai-partai politik masih berkewajiban memberi pencerahan kepada anggota-anggotanya yang terpilih. Pada gilirannya, anggota-anggota DPR itulah yang akan memberikan pencerahan kepada rakyat yang mereka wakili.

Apa arti demokrasi? Buku What is Democracy (1955) menjawab: Demokrasi tidak berhenti cukup lama untuk merumuskan suatu dogma, apa pun bentuknya. Demikian pula ide-idenya tidak pernah berhenti menyebar. Adakalanya ide-ide yang ditemukan baru muncul setelah evolusi ratusan tahun. Kadang-kadang datang mendadak sebagai revolusi setelah ide-ide dan emosi pada akhirnya mengkristal untuk lepas mencari tempat singgah. Bagaimana pun pemunculannya, prinsip-prinsip demokrasilah yang memberi kekuatan. Demokrasi akan selalu menyesuaikan diri melewati waktu yang terus-menerus berubah sehingga mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan rakyat.

"Marilah kita semua terus mencari kebenaran, seakan tidak ada di antara kita yang memilikinya." (Constantin Francois Volney; 1810). Memang sebaiknya kita jangan berhenti mencari kebenaran, termasuk di bidang politik. Dalam alam demokrasi, tidak ada yang memonopoli kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar