Jumat, 25 Mei 2012

Pembagian Waktu Indonesia



Opini - Kamis, 24 Mei 2012 00:05 WIB, 

Oleh : Fatimahhakki Salsabela M. 
Pemerintah Indonesia berencana akan menyatukan waktu Indonesia, tidak seperti sekarang ini, ada Waktu Indonesia Barat (WIB), ada Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan ada Waktu Indonesia Timur (WIT) dengan rincian WIB mengikuti waktu pada bujur 105 derajat BT. Daerahnya meliputi Sumatra, Jawa, Madura, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. WIB dihitung tujuh jam lebih cepat dari Greenwich Mean Time (GMT) yakni waktu matahari baku pada garis bujur 00.

Lantas, WITA mengikuti waktu pada garis bujur 120 derajat BT, yang meliputi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. WITA dihitung delapan jam lebih cepat dari GMT dan WIT mengikuti garis bujur 135 BT, meliputi Kepulauan Maluku dan Irian Jaya. WIT dihitung sembilan jam lebih cepat dari GMT.



Bagi masyarakat awam pembagian waktu ini kurang dimasalahkan dan banyak pula yang tidak mengetahui bahwa Indonesia sudah dua kali melakukan pembagian waktu. Pertama tahun 1963 berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) RI No. 243 tahun 1963 yang isinya menyebutkan waktu di Indonesia menjadi tiga wilayah bagian dan mulai berlaku 1 Januari 1964. Semenjak itu, waktu Indonesia Barat meliputi daerah daerah tingkat I dan Istimewa di Sumatera, Jawa, Madura dan Bali dengan waktu tolok GMT+ 07.00 jam dan derajat tolok 105° BT.

Lantas, Waktu Indonesia Tengah meliputi daerah daerah tingkat I di Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Ternggara dengan waktu tolok GMT +08.00 jam dan derajat tolok 120° BT dan Waktu Indonesia Timur meliputi daerah daerah tingkat I di Maluku dan Irian Jaya dengan waktu tolok GMT+09.00 jam dan derajat tolok 135° BT.

Ternyata pembagian waktu ini dirasakan tidak efesien dan kurang tepat sebab pembagian daerahnya tidak berdasarkan pada bujur yang sama, akibatnya pembagian waktu berbeda dengan wilayah bujur. Contoh kota Pontianak di Kalimantan Barat dan kota Tegal di Jawa Tengah berada pada bujur yang sama tetapi pembagian waktu daerah berbeda. Kota Pontianak masuk Waktu Indonesia Tengah dan kota Tegal masuk Waktu Indonesia Barat. Contoh lain, kota Denpasar di pulau Bali, Waktu Indonesia Barat dan kota Banjarmasin Waktu Indonesia Tengah, pada hal masih pada posisi satu bujur.

Mengapa tidak efesien dan kurang tepat pembagian daerah waktu di Indonesia karena pembagian daerah tidak berdasarkan bujur? Jawabnya sederhana sebab perhitungan waktu GMT berdasarkan peredaran matahari maka ketika dikatakan sudah petang ternyata sinar matahari masih belum tergelincir ke barat. Begitu juga ketika dikatakan sudah malam ternyata sinar matahari masih terlihat di ufuk barat.

Kearifan Lokal

Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal yang luar biasa, sebab semua aspek kehidupan bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal, termasuk pembagian waktu. Sebelum dilakukan pembagian waktu sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia tentang waktu berpedoman dengan perjalanan sinar matahari.

Ternyata kearifan lokal dalam hal waktu itu sejalan, selaras dan sesuai dengan pembagian waktu berdasarkan GMT maka karena itu dilakukan perubahan dengan keluarnya Kepres RI No. 41 tahun 1987 yang berlaku mulai 1 Januari 1988 jam 00 WIB yakni Indonesia tetap dibagi dalam 3 wilayah waktu, tetapi berdasarkan posisi bujur maka pulau Kalimantan menjadi dua wilayah waktu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah masuk wilayah Waktu Indonesia Barat dan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masuk wilayah Waktu Indonesia Tengah serta Bali masuk Waktu Indonesia Tengah.

Kini Pemerintah Indonesia berencana akan menyatukan waktu Indonesia, tidak seperti sekarang ini, WIB, WITA dan WIT yakni waktu Indonesia dari tiga zona waktu menjadi satu zona yang setara dengan GMT+8 atau delapan jam lebih cepat dari standar waktu internasional di Greenwich. Bila ini yang dilakukan maka zona waktu yang digunakan Indonesia sama dengan zona waktu yang digunakan Singapura dan Malaysia.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, Presiden telah menyetujui penyatuan zona waktu sebab penyatuan zona waktu itu akan menghasilkan efisiensi dan efektivitas antara wilayah barat dan timur, karena selama ini antara kedua wilayah itu ada perbedaan waktu dua jam (Kompas.com Rabu 16/5/2012)

Mengubah Gaya Hidup

Secara psikologi, tidak mudah mengubah kebiasaan seseorang dan akan lebih sulit lagi mengubah kebiasaan satu kelompok, kaum atau bangsa. Menyatukan waktu Indonesia dari tiga zona menjadi satu zona dengan tujuan efisiensi, efektivitas dan alasan penghematan serta ekonomi butuh sosialisasi total, karena perubuhan waktu atau penyatuan waktu Indonesia tidak akan dirasakan langsung secara alami oleh masyarakat.

Artinya, boleh jadi waktu telah lebih cepat satu jam, akan tetapi secara alami masyarakat belum merasakan waktu itu telah lebih cepat satu jam sebab kondisi alam tidak berubah, tetap seperti yang ada sekarang ini. Contoh sederhana, pada pukul 07.00 waktu Singapura sama dengan pukul 07.00 WIB, masyarakat di Singapura telah aktif bekerja tetapi di Medan-Indonesia masih berbenah-benah dan baru memulai bekerja pukul 08.00 WIB.

Penulis sebagai seorang mahasiswi psikologi menilai mengubah pembagian waktu Indonesia dari tiga pembagian waktu menjadi satu pembagian waktu dengan tujuan ekonomi agar sama dengan Singapura dan Malaysia, kurang efektif sebab masalahnya bukan pada pembagian zona waktu. Masalahnya ada pada masyarakat Indonesia itu sendiri, mau cepat beraktivitas atau tidak. Mau banyak beraktivitas atau tidak selama waktu 24 jam atau satu hari satu malam.

Faktor psikologis paling dominan dan sangat menentukan seseorang atau sekelompok orang, satu kaum atau satu negara melakukan aktivitas. Pembagian waktu tidak begitu menentukan sama halnya ketika pembagian zona waktu pertama di Indonesia yang tidak berdasarkan pada posisi bujur, dikatakan di kota Pontianak di Kalimantan Barat dan kota Tegal di Jawa Tengah sudah pukul 08.00 WITA akan tetapi masyarakat merasakan alam masih pukul 07.00 pagi. Kondisi ini yang memaksa pembagian zona waktu Indonesia disesuaikan dengan posisi bujur daerah, bukan faktor efisiensi, efektivitas dan alasan penghematan serta ekonomi.

Bila alasan pemerintah penyatuan waktu Indonesia dari tiga zona menjadi satu zona alasan efisiensi, efektivitas dan alasan penghematan serta ekonomi kurang tepat sasaran. Baiknya bila alasan ekonomi tentunya mengubah gaya hidup, perilaku masyarakat Indonesia untuk bekerja lebih keras, efisiensi, efektivitas dan tidak terpengaruh dengan kondisi alam.

Sederhana saja, bila pagi hari cuaca mendung, hujan gerimis, pasti banyak mahasiswa, pekerja yang terlambat masuk kuliah atau kerja yang dijadwalkan pukul 08.00 Wib. Kondisi alam dan kejiwaan (psikologi) masyarakat Indonesia sangat dominan. Jangan heran bila kita datang ke satu daerah ada ungkapan dari masyarakat daerah itu, "Di sini cepat malam, lama pagi"

Penulis pertama bingung, tetapi setelah dijelaskan menjadi paham dan maklum karena kondisi itu juga sama dengan daerah tempat penulis masa kanak-kanak. Umumnya daerah yang berudara dingin, fasilitas penerangan (listrik) masih belum (tidak) ada, akses jalan dan transportasi yang terbatas akan muncul ungkapan itu.

Nah, pemerintah tidak perlu menyatukan pembagian waktu Indonesia, pemerintah cukup menghilangkan ungkapan "Di sini cepat malam, lama pagi" Artinya, pemerintah Indonesia harus membangun semua infrastruktur sampai ke pelosok daerah di tanah air. Pemerintah Orde Baru, Soeharto melakukan itu seperti listrik masuk desa dan lainnya.

Empat belas tahun sudah era Reformasi Indonesia sejak 21 Mei 1998 era Orde Baru berakhir, mana pembangunan infrastruktur? Bila pembangunan infrastruktur tumbuh dan berkembang maka tidak perlu menyatukan waktu Indonesia dengan alasan ekonomi.***

Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Medan Area (UMA), pemerhati masalah psikologi ekonomi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar