Kamis, 21 Juni 2012

Boediono: Mutlak, Biaya Pendidikan Dasar Murah

666
Biaya sekolah yang murah dan terjangkau, terutama pada pendidikan dasar, adalah suatu kemutlakan. Pasalnya, pendidikan pertama memiliki andil penting untuk membuka otak dan hati seorang anak.

Demikian disampaikan Wakil Presiden Boediono dalam sambutannya pada Pembukaan Tanwir Muhammadiyah Tahun 2012 dengan tema “Gerakan Pencerahan, Solusi Untuk Bangsa” di Bandung, Kamis (21/6).


Selain soal biaya, Boediono yang pernah menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah menyatakan ada beberapa hakekat dari pendidikan atau esensi dari upaya mencerdaskan bangsa, yaitu fasilitas sekolah yang minim bukan segala-galanya, bukan kendala utama bagi proses belajar-mengajar, melainkan dedikasi dan kompetensi gurulah yang segala-galanya. 
 
Selain itu, kegiatan kepramukaan sebaiknya merupakan bagian integral dari proses belajar-mengajar. Sebab, pendidikan dasar yang baik adalah landasan bagi pendidikan selanjutnya dan kunci bagi upaya mencerdaskan bangsa. Perbaikan mutu dan akses pendidikan dasar harus tetap mendapatkan prioritas paling tinggi.

Muhammadiyah, menurutnya tak terbantahkan bahwa sejak berdirinya 100 tahun lalu, telah banyak memberikan kontribusi kepada bangsa ini, terutama dalam bidang pendidikan. Dirinya pun bernostalgia dengan pengalamannya masa kecil di mana sebagai murid SD Muhammadiyah di Blitar pada awal 1950-an, fasilitas yang disediakan sangat minim.


Di mana, para murid tidak diwajibkan berseragam dan hampir semua murid tidak pakai sepatu. Kendati demikian dan uang sekolahnya murah, namun ada satu hal yang menonjol, yaitu guru-gurunya. Boediono pun berani mengatakan bahwa dengan standar ukuran sekarang pun, para gurunya adalah guru-guru yang kompeten sebagai pendidik. Bahkan, lebih dari itu mereka mempunyai dedikasi sangat tinggi meski dibayar murah.


"Saya bisa mengatakan bahwa mereka mengajar kami dengan hati. Saya yakin bahwa gaji para guru kami itu, yang dibayar sepenuhnya oleh yayasan Muhammadiyah setempat, tidak besar. Orang bilang bahwa etos kerja dan dedikasi guru seperti itu adalah sisa-sisa didikan jaman Belanda," ujarnya.


Sebelumnya, pada peringatan Hari Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu, Boediono mengajak komunitas pendidikan  untuk melihat kembali keseimbangan antara pendidikan nalar dan pendidikan karakter, keseimbangan antara pengembangan “otak” dan pengembangan “hati” anak-anak didik.


"Dalam konteks Muhammadiyah tentu bisa ditambahkan selain nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kebangsaan, juga nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Ketiga aspek karakter itu, kemanusiaan, ke-Indonesiaan dan ke-Islaman  tentu harus diajarkan menyatu sebagai satu sistem nilai yang utuh dan koheren. Saya yakin Muhammadiyah akan siap menerima tantangan itu dan mengatasinya dengan baik," tutup Boediono. [O-2]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar