Sabtu, 26 Mei 2012

Demokrasi Abuabu dan Republik Pansus


19 Maret 2012 00:03 WIB
Oleh FARIZ ALNIZAR


Saya kok jadi agak pesimistis dengan perkembangan demokrasi di negeri ini. Paling tidak saya mulai ragu —setingkat di bawah pesimistis— bahwa demokrasi yang kita anut dan kita agung-agungkan sebagai rule of the games bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara ini mampu untuk menjadi solusi yang benar-benar tepat bagi kalut dan ruwetnya masalah di negeri ini.


Melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini sama dengan mendebet saldo keimanan saya untuk meyakini bahwa demokrasi bagi Indonesia memang —meminjam terminologi yang pernah dilontarkan Emha Ainun Nadjib— la raiba fihi, tak ada keraguan di dalamnya. Keropos dan busuknya mental politikus serta pegiat politik di negeri inilah yang rupanya menyebabkan harapan saya pada demokrasi di negeri ini semakin mengecil dan nyaris lunas tak tersisa.



Kasus surat palsu dari KPU sampai dengan “kicauan” dan “nyanyian” almukarrom M. Nazaruddin, yang sampai detik ini membuat orang-orang penting macam Andi Alvian Mallarangeng keluar masuk meja hijau untuk menjadi saksi di persiadangan, membuat saya semakin iman dan yakin bahwa ada masalah besar yang mestinya terkuak dan memang sudah waktunya muncul ke permukaan. Asal Anda tahu, saya perlu berpikir seribu kali untuk percaya pada apa yang dikatakan para politikus di negeri ini. Ketika mereka berbicara, kapan saja, tentang apa saja, rasanya sangat perlu bagi saya mencurigai perkataan atau pernyataan tersebut. Sama halnya ketika saya mendengar suatu berita yang “diriwayatkan” oleh seorang balita umur 4-5 tahunan, tentu saya tidak sekonyong-konyong mengamini dan membenarkan berita yang dikatakan anak kecil itu, bukan? Poinnya satu, bagi saya politikus tak ubahnya anak kecil, sekali lagi itu bagi saya.


Kita tahu bahwa menjadi rakyat di negeri ini butuh mental yang par-excellence, yakni kesabaran tingkat Nabi Ayyub dan kemurahan hati dalam memaafkan tingkat Nabi Muhammad, karena setiap hari yang kita konsumsi adalah kebohongan, kebohongan, dan kebohongan. Saya pernah mengajukan pertanyaan yang sangat serius bagi saya kepada seorang profesor. Sayang, pertanyaan ini dianggap tak begitu serius. Pertanyaan itu kira-kira begini bunyinya, “Prof, mengapa sih kok sulit banget mencari orang jujur di Indonesia? Mencari orang jujur di negeri ini sama sulitnya mencari soto Lamongan di Madura.” Sang profesor menjawab, “Banyak orang jujur, cuma masalahnya kagak diberi kesempatan saja.” Sampai sekarang satu kata dari jawaban itu saya simpan baik-baik di laci hati: kesempatan.


Kesempatan memang penting. Tapi, masalahnya, apakah harus kita menunggunya? Bukankah kita harus menjemputnya? Menjemput bola adalah sikap yang baik daripada menunggu sambil termangu atas datangnya kesempatan itu. Tirulah Xavi Hernandez yang jika ia kehilangan bola akan sesegera mungkin turun ke lapangan belakang untuk sekadar menjemput bola. Ini sepele memang, tapi bukankah hal-hal yang besar adalah akumulasi dari hal-hal yang sepele?

Demokrasi Abu-abu
Pada akhirnya saya pun mulai berpikir pragmatis bahwa, sudahlah negara adalah negara, rakyat adalah rakyat. Berdasarkan pengalaman saya menjadi rakyat di negeri ini, saya punya semacam konvensi tidak tertulis di diri ini bahwa Indonesia tak ada hubungannya antara negara dengan rakyat, karena nomenklatur negara sudah sedemikian sengkarut dan diacak-acak oleh politikus negara ini.


Secara normatif-teoritis, negara adalah rumah besar tempat “berteduh” pada rakyat, ia semacam ruangan yang dihuni oleh beragam manusia yang punya rasa —meminjam Ben Anderson— nasionalisme yang sama, kumpulan manusia itulah yang dinamakan rakyat, dan dari rakyat itu dipilih yang dianggap paling kompeten untuk menjadi pengurus yang kemudian diistilahkan dengan “goverment” yang di Indonesia disalahartikan menjadi pemerintah, padalah makna sabenarnya adalah pengatur.


Pemerintah tugasnya me-manage dan mengatur jalannya stabilitas ruangan tersebut. Mereka bekerja untuk atasan mereka yang memiliki ruangan tersebut yang bernama rakyat. Tapi kita semua tahu bahwa perilaku wakil rakyat kita sangat menjijikkan, nggilani. Mereka menyangka dan menempatkan dirinya serta meyakini bahwa mereka setingkat di atas rakyat, padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka hidup, makan dan berpakaian dari uang rakyat.


Memang aneh hidup di Indonesia, demokrasinya juga tak kunjung menemukan titik terang. Bahwa demokrasi berhasil membuka kran kebebasan berbicara memang iya, tapi bahwa apakah demokrasi mampu menyejahteraan rakyat, itu persoalan lain.


Saya jadi teringat dengan mendiang Mochtar Lubis. Ia mengatakan pada satu kesempatan dalam pidato kebudayaan di taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1987 silam bahwa ciri manusia Indonesia ada tujuh yang menonjol. Satu di antara tujuh itu yang menempati nomor wahid adalah feodal. (Mochtar Lubis:1987) Saya takut dan bahkan curiga, jangan-jangan sistem kita demokrasi tapi jiwa kida feodal. Inilah yang sering saya istilahkan dengan demokrasi abu-abu. Tak punya kelamin yang jelas.


Akhirnya, Negara Pansus
Kita semua tahu bahwa yang nomor satu bagi pemimpin kita yang bernama Susilo Bambang Yudhoyono itu (SBY) adalah citra, masa bodoh dengan negeri ini yang penting citra harus selalu baik. Harus tampak fresh dalam setiap kesempatan bak bintang iklan dan artis yang selalu merawat fisik.


Kita semua mungkin sangat gemas, bahkan geregetan dengan SBY. Mengapa? Dua kata: sok bijak. Lihatlah berita di berbagai media baik cetak maupun elektronik yang menyangkut dirinya. Semua menunjukkan bahwa ia sangat hati-hati dan terkesan lamban (sejak dulu) dalam setiap kali menghadapi masalah. Kita juga tahu bahwa kalaupun ia merespons suatu masalah, ia juga kesannya tak serius, lamban, dan maju mundur seperti main yo-yo (kata Megawati Soekarnoputri). Bentuk pansus sana-sini, keluarkan instruksi sana-sini, dan semua seakan hilang begitu saja tak ada jluntrungnya.


Pansus Century? Pansus Mafia Pajak? Pansus TKW? Hampir semuanya tak jelas akhirnya. Sampai mana perkembangannya, bagaimana hasilnya, pemerintah tak pernah mengabarkan. Pada titik yang paling nadir, saya sampai berpikir begini, “Saya ini orang awam dibodohkan lagi dengan sistem yang diregulasikan pemerintah.”


Maka, akhirnya saya teringat seorang ustadz yang intensif melakukan tausiyah kepada jamaahnya. Ia berkata bahwa hidup di negeri ini kau harus menjadi pendekar, mau tidak mau. Karena tak ada yang menjamin kelangsungan hidupmu di negeri ini. Kau kerampokan, kau kemalingan, kau kegarongan, kau kehilahangan hak-hakmu, siapa yang akan membantumu? Polisi? Jaksa? MA? Pemerintah? Wong jusru yang biasa merampas dan mencuri yo wong-wong kui (mereka-mereka itu). Allahu a’lam bisshawab.



Fariz Alnizar
Peneliti di LP3M Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta
Tulisan Pernah dimuat di Harian Duta Masyarakat, 19 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar