19 Maret 2012 00:03 WIB
Oleh FARIZ ALNIZAR
Oleh FARIZ ALNIZAR
Saya kok jadi agak pesimistis dengan perkembangan demokrasi di negeri
ini. Paling tidak saya mulai ragu —setingkat di bawah pesimistis— bahwa
demokrasi yang kita anut dan kita agung-agungkan sebagai rule of the
games bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara ini mampu
untuk menjadi solusi yang benar-benar tepat bagi kalut dan ruwetnya
masalah di negeri ini.
Melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini sama dengan mendebet saldo
keimanan saya untuk meyakini bahwa demokrasi bagi Indonesia memang
—meminjam terminologi yang pernah dilontarkan Emha Ainun Nadjib— la
raiba fihi, tak ada keraguan di dalamnya. Keropos dan busuknya mental
politikus serta pegiat politik di negeri inilah yang rupanya menyebabkan
harapan saya pada demokrasi di negeri ini semakin mengecil dan nyaris
lunas tak tersisa.
Kasus surat palsu dari KPU sampai dengan “kicauan” dan “nyanyian”
almukarrom M. Nazaruddin, yang sampai detik ini membuat orang-orang
penting macam Andi Alvian Mallarangeng keluar masuk meja hijau untuk
menjadi saksi di persiadangan, membuat saya semakin iman dan yakin bahwa
ada masalah besar yang mestinya terkuak dan memang sudah waktunya
muncul ke permukaan. Asal Anda tahu, saya perlu berpikir seribu kali
untuk percaya pada apa yang dikatakan para politikus di negeri ini.
Ketika mereka berbicara, kapan saja, tentang apa saja, rasanya sangat perlu
bagi saya mencurigai perkataan atau pernyataan tersebut. Sama halnya
ketika saya mendengar suatu berita yang “diriwayatkan” oleh seorang
balita umur 4-5 tahunan, tentu saya tidak sekonyong-konyong mengamini
dan membenarkan berita yang dikatakan anak kecil itu, bukan? Poinnya
satu, bagi saya politikus tak ubahnya anak kecil, sekali lagi itu bagi
saya.
Kita tahu bahwa menjadi rakyat di negeri ini butuh mental yang
par-excellence, yakni kesabaran tingkat Nabi Ayyub dan kemurahan hati
dalam memaafkan tingkat Nabi Muhammad, karena setiap hari yang kita
konsumsi adalah kebohongan, kebohongan, dan kebohongan. Saya pernah
mengajukan pertanyaan yang sangat serius bagi saya kepada seorang
profesor. Sayang, pertanyaan ini dianggap tak begitu serius. Pertanyaan
itu kira-kira begini bunyinya, “Prof, mengapa sih kok sulit banget
mencari orang jujur di Indonesia? Mencari orang jujur di negeri ini sama
sulitnya mencari soto Lamongan di Madura.” Sang profesor menjawab,
“Banyak orang jujur, cuma masalahnya kagak diberi kesempatan saja.”
Sampai sekarang satu kata dari jawaban itu saya simpan baik-baik di laci
hati: kesempatan.
Kesempatan memang penting. Tapi, masalahnya, apakah harus kita
menunggunya? Bukankah kita harus menjemputnya? Menjemput bola adalah
sikap yang baik daripada menunggu sambil termangu atas datangnya
kesempatan itu. Tirulah Xavi Hernandez yang jika ia kehilangan bola akan
sesegera mungkin turun ke lapangan belakang untuk sekadar menjemput
bola. Ini sepele memang, tapi bukankah hal-hal yang besar adalah
akumulasi dari hal-hal yang sepele?
Demokrasi Abu-abu
Pada akhirnya saya pun mulai berpikir pragmatis bahwa, sudahlah negara adalah negara, rakyat adalah rakyat. Berdasarkan pengalaman saya menjadi rakyat di negeri ini, saya punya semacam konvensi tidak tertulis di diri ini bahwa Indonesia tak ada hubungannya antara negara dengan rakyat, karena nomenklatur negara sudah sedemikian sengkarut dan diacak-acak oleh politikus negara ini.
Secara normatif-teoritis, negara adalah rumah besar tempat “berteduh”
pada rakyat, ia semacam ruangan yang dihuni oleh beragam manusia yang
punya rasa —meminjam Ben Anderson— nasionalisme yang sama, kumpulan
manusia itulah yang dinamakan rakyat, dan dari rakyat itu dipilih yang
dianggap paling kompeten untuk menjadi pengurus yang kemudian
diistilahkan dengan “goverment” yang di Indonesia disalahartikan menjadi
pemerintah, padalah makna sabenarnya adalah pengatur.
Pemerintah tugasnya me-manage dan mengatur jalannya stabilitas ruangan
tersebut. Mereka bekerja untuk atasan mereka yang memiliki ruangan
tersebut yang bernama rakyat. Tapi kita semua tahu bahwa perilaku wakil
rakyat kita sangat menjijikkan, nggilani. Mereka menyangka dan
menempatkan dirinya serta meyakini bahwa mereka setingkat di atas
rakyat, padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka hidup, makan dan
berpakaian dari uang rakyat.
Memang aneh hidup di Indonesia, demokrasinya juga tak kunjung menemukan
titik terang. Bahwa demokrasi berhasil membuka kran kebebasan berbicara
memang iya, tapi bahwa apakah demokrasi mampu menyejahteraan rakyat, itu
persoalan lain.
Saya jadi teringat dengan mendiang Mochtar Lubis. Ia mengatakan pada satu kesempatan dalam pidato kebudayaan di taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1987 silam bahwa ciri
manusia Indonesia ada tujuh yang menonjol. Satu di antara tujuh itu yang
menempati nomor wahid adalah feodal. (Mochtar Lubis:1987) Saya takut dan bahkan curiga, jangan-jangan sistem kita demokrasi tapi
jiwa kida feodal. Inilah yang sering saya istilahkan dengan demokrasi
abu-abu. Tak punya kelamin yang jelas.
Akhirnya, Negara Pansus
Kita semua tahu bahwa yang nomor satu bagi pemimpin kita yang bernama Susilo Bambang Yudhoyono itu (SBY) adalah citra, masa bodoh dengan negeri ini yang penting citra harus selalu baik. Harus tampak fresh dalam setiap kesempatan bak bintang iklan dan artis yang selalu merawat fisik.
Kita semua tahu bahwa yang nomor satu bagi pemimpin kita yang bernama Susilo Bambang Yudhoyono itu (SBY) adalah citra, masa bodoh dengan negeri ini yang penting citra harus selalu baik. Harus tampak fresh dalam setiap kesempatan bak bintang iklan dan artis yang selalu merawat fisik.
Kita semua mungkin sangat gemas, bahkan geregetan dengan SBY. Mengapa? Dua kata: sok bijak. Lihatlah berita di berbagai media baik cetak maupun elektronik yang
menyangkut dirinya. Semua menunjukkan bahwa ia sangat hati-hati dan
terkesan lamban (sejak dulu) dalam setiap kali menghadapi masalah. Kita
juga tahu bahwa kalaupun ia merespons suatu masalah, ia juga kesannya
tak serius, lamban, dan maju mundur seperti main yo-yo (kata Megawati
Soekarnoputri). Bentuk pansus sana-sini, keluarkan instruksi sana-sini,
dan semua seakan hilang begitu saja tak ada jluntrungnya.
Pansus Century? Pansus Mafia Pajak? Pansus TKW? Hampir semuanya tak
jelas akhirnya. Sampai mana perkembangannya, bagaimana hasilnya,
pemerintah tak pernah mengabarkan. Pada titik yang paling nadir, saya
sampai berpikir begini, “Saya ini orang awam dibodohkan lagi dengan
sistem yang diregulasikan pemerintah.”
Maka, akhirnya saya teringat seorang ustadz yang intensif melakukan
tausiyah kepada jamaahnya. Ia berkata bahwa hidup di negeri ini kau
harus menjadi pendekar, mau tidak mau. Karena tak ada yang menjamin
kelangsungan hidupmu di negeri ini. Kau kerampokan, kau kemalingan, kau
kegarongan, kau kehilahangan hak-hakmu, siapa yang akan membantumu?
Polisi? Jaksa? MA? Pemerintah? Wong jusru yang biasa merampas dan
mencuri yo wong-wong kui (mereka-mereka itu). Allahu a’lam bisshawab.
Fariz Alnizar
Peneliti di LP3M Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta
Tulisan Pernah dimuat di Harian Duta Masyarakat, 19 Maret 2012
Peneliti di LP3M Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta
Tulisan Pernah dimuat di Harian Duta Masyarakat, 19 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar